Nenek Salma bersama cucu di dapurnya |
Jalan menuju Desa Arakan di Minahasa Selatan |
Beberapa waktu lalu, teman-teman memposting foto-foto mewah Ibu Bupati Minahasa Selatan dengan kacamata dan tasnya.
Tiba-tiba aku ingat Nenek Salma, yang tinggal di Desa Arakan Minahasa Selatan. Sebuah Desa yang untuk menjangkaunya harus melalui tiga jembatan kayu.
Ibu Bupati dan karpet gambar macan |
Kisah Mak Salma
Berharap hari
demi hari ini bisa saya lalui dengan cucu-cucu saya dengan makanan yang
berkecukupan. Itu saja.
Namaku
Salma, mungkin umurku sudah 65 tahun. Aku tidak ingat lagi tahun kapan aku dilahirkan. Menikah dalam usia
muda, aku dikaruniai lima orang anak. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Semua
anak laki-lakiku meninggal. Anak laki-lakiku yang pertama meninggal ketika dia
masih bayi, kira-kira umurnya baru 6 bulan. Anak laki-lakiku yang ke dua,
meninggal pada usia 12 Tahun karena terjebur sumur. Dan anak laki-lakiku yang
ke tiga yang juga anak bungsuku meninggal pada usia 18 tahun karena sakit.
Sepulang dari berlayar bersama saudara iparnya, menantuku dari anak perempuanku
yang kedua, dia tiba-tiba sakit. Aku dan bapaknya sudah berusaha, kami
membawanya berobat sampai dua kali tetapi nyawanya tetap tidak tertolong, dia
meninggal. Meninggalkan kesedihan yang dalam dihati suamiku. Akhirnya kesedihan
itu menggerogoti kesehatannya dan dia juga menyusul meninggal tak berapa lama
kemudian.
Aku
dan keluargaku sangat akrab dengan
kemelaratan yang berujung kematian. Anak perempuanku yang pertama,
bahkan hanya bisa mengenyam bangku kelas satu sekolah dasar. Waktu itu, ada iuran
yang harus anakku setorkan sebesar Rp.
100,- yang mungkin waktu itu seharga seribu rupiah, jika sekarang. Mungkin
karena tidak tega membebani kami, dia tidak pernah menyampaikan tentang
keharusan membayar iuran itu. Dia menangis meminta seratus rupiah itu padahari terakhir, dimana jika tidak bisa membayar, dia
akan kena sanksi. Apa lacur, aku hanya punya uang Rp. 50,-. Maka kusuruh dia
membawa uang itu untuk
diserahkan kepada bapak
Guru. Tetapi dia tidak mau, membawa uang yang Cuma Rp. 50 ,- itu. “jika tidak
punya, bagaimana aku harus membayarnya? Apakah aku harus mencuri” teriakku pada
anakku, memaksanya masuk sekolah dan membayarkan uang itu. Dia bersikukuh tidak
mau, dan akhirnya dia memilih
berhenti sekolah. Ya aku hanya mampu memberinya pendidikan yang bahkan
kelas satu saja belum dilalui. Tapi untunglah atas usaha gigihnya dia bisa
membaca.
Dia
sekarang sudah menikah, anaknya 4. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Suaminya
kerja serabutan, dan dia tidak bekerja karena harus menjaga anak-anaknya yang
masih kecil. Anak laki-lakinya ada disini, dititipkan kepadaku, agar bisa
sekolah disini. Sekarang dia sudah kelas 4 SD.
Anak
perempuanku yang lain, sempat mengenyam sekolah menengah, tetapi juga terburu
ingin menikah. Maka menikahlah dia dengan seorang pemuda nelayan yang juga
seorang pemabok. Dulu mereka tinggal bersamaku, seringkali pertengkaran yang
disebabkan oleh ekonomi mencoba diringankan dengan minum-minuman keras, dan
seringkali pada saat mabuk dia melakukan kekerasan pada istrinya.
Dengan
cepat anak perempuanku yang kedua ini, memiliki anak. Anak yang pertama
laki-laki, anak yang kedua juga laki-laki dan ketika hamil anak ketiga keluarga
mereka pindah ke pulau
Wanci dengan kehamilan yang berat, sesungguhnya aku sudah
melarang anakku untuk di bawa ke pulau Wanci, karena pulau itu sangat jauh, sebagai
seorang ibu, aku juga ingin membantu menemani anak perempuanku dalam proses
pertaruhan nyawa dalam persalinan juga. Dan benar firasatku, anakku mengalami
perdarahan habit setelah melahirkan, di Pulau itu hanya ada puskesmas kecil
yang tidak memiliki cukup perlengkapan untuk membantu persalinan yang riskan seperti yang terjadi pada anak
perempuanku, dia dirujukkan ke rumah sakit Bau-Bau. Meskipun
di anggap paling dekat, jarak perjalanan yang harus ditempuh juga kurang lebih
3 jam.
Karena
kami miskin, kami tidak mampu menyewa kapal sendiri, sehingga kami juga harus menunggu
kapal penumpang yang memiliki jadwalnya sendiri. Dalam penantian pemberangkatan
kapal itulah anakku tidak bisa ditolong lagi, dia meninggal di pelabuhan
penyebrangan.
Fitri, dia cucuku
yang dilahirkan dengan taruhan nyawa ibunya, sekarang dia ikut denganku bersama
dua saudara lelakinya. Lihatlah tubuhnya yang kecil mungil, tak sebanding
dengan usianya yang sudah hampir enam tahun. Ya saya hanya nenek renta, saya
hanya mampu menghidupi mereka dengan tubuh tua saya. Ketika mencari kayu di
Hutan Taman Nasional Bunaken pelarangannya belum seketat sekarang, aku
masih bisa mencari kayu bakar untuk kujual, sekarang aku hanya mengandalkan
permintaan tetangga untuk mencuci pakaian dan membersihkan rumah mereka.
Pengasilan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga tentu upahnya tak seberapa, karena itu
seringkali kami sekeluarga hanya memakan ubi untuk mengganjal perut kami.
Memang pemerintah memberi saya jatah raskin, tetapi raskin tidak selalu ada,
dan juga seringkali saya dalam situasi tanpa uang untuk bisa menebus seluruh
jatah raskin yang diberikan pada saya. Sehingga raskin itu kadang hanya mampu
saya beli seperempatnya, separuhnya bahkan sama sekali tidak bisa saya tebus.
Cucu
laki-lakiku dari anak pertama, memang masih sekolah, anak laki-laki dari anak
perempuanku yang kedua, dia tidak bersekolah lagi, dialah yang membantu saya
dengan bekerja ikut kapal mencari ikan. anak laki-laki yang kedua masih sekolah
dan si kecil perempuan mungkin tahun depan sudah akan mulai masuk sekolah
dasar.
Saya
hanya berharap hari demi hari ini bisa saya lalui dengan cucu-cucu saya dengan
makanan yang berkecukupan. Itu saja. (Ida 2014)
Ibu Bupati berpose bersama artis |