Selasa, 06 Januari 2015

Paradok; Dunia nenek Salma

Nenek Salma bersama cucu di dapurnya
Jalan menuju Desa Arakan di Minahasa Selatan

Beberapa waktu lalu, teman-teman memposting foto-foto mewah Ibu Bupati Minahasa Selatan dengan kacamata dan tasnya.
Tiba-tiba aku ingat Nenek Salma, yang tinggal di Desa Arakan Minahasa Selatan. Sebuah Desa yang untuk menjangkaunya harus melalui tiga jembatan kayu. 

Ibu Bupati dan karpet gambar macan


Kisah Mak Salma
Berharap hari demi hari ini bisa saya lalui dengan cucu-cucu saya dengan makanan yang berkecukupan. Itu saja.
Namaku Salma, mungkin umurku sudah 65 tahun. Aku tidak ingat lagi tahun  kapan aku dilahirkan. Menikah dalam usia muda, aku dikaruniai lima orang anak. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Semua anak laki-lakiku meninggal. Anak laki-lakiku yang pertama meninggal ketika dia masih bayi, kira-kira umurnya baru 6 bulan. Anak laki-lakiku yang ke dua, meninggal pada usia 12 Tahun karena terjebur sumur. Dan anak laki-lakiku yang ke tiga yang juga anak bungsuku meninggal pada usia 18 tahun karena sakit. Sepulang dari berlayar bersama saudara iparnya, menantuku dari anak perempuanku yang kedua, dia tiba-tiba sakit. Aku dan bapaknya sudah berusaha, kami membawanya berobat sampai dua kali tetapi nyawanya tetap tidak tertolong, dia meninggal. Meninggalkan kesedihan yang dalam dihati suamiku. Akhirnya kesedihan itu menggerogoti kesehatannya dan dia juga menyusul meninggal tak berapa lama kemudian.
Aku dan keluargaku sangat akrab dengan  kemelaratan yang berujung kematian. Anak perempuanku yang pertama, bahkan hanya bisa mengenyam bangku kelas satu sekolah dasar. Waktu itu, ada iuran yang harus  anakku setorkan sebesar Rp. 100,- yang mungkin waktu itu seharga seribu rupiah, jika sekarang. Mungkin karena tidak tega membebani kami, dia tidak pernah menyampaikan tentang keharusan membayar iuran itu. Dia menangis meminta seratus rupiah itu padahari  terakhir, dimana jika tidak bisa membayar, dia akan kena sanksi. Apa lacur, aku hanya punya uang Rp. 50,-. Maka kusuruh dia membawa uang itu untuk diserahkan  kepada bapak Guru. Tetapi dia tidak mau, membawa uang yang Cuma Rp. 50 ,- itu. “jika tidak punya, bagaimana aku harus membayarnya? Apakah aku harus mencuri” teriakku pada anakku, memaksanya masuk sekolah dan membayarkan uang itu. Dia bersikukuh tidak mau, dan akhirnya dia memilih berhenti sekolah. Ya aku hanya mampu memberinya pendidikan yang bahkan kelas satu saja belum dilalui. Tapi untunglah atas usaha gigihnya dia bisa membaca.
Dia sekarang sudah menikah, anaknya 4. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Suaminya kerja serabutan, dan dia tidak bekerja karena harus menjaga anak-anaknya yang masih kecil. Anak laki-lakinya ada disini, dititipkan kepadaku, agar bisa sekolah disini. Sekarang dia sudah kelas 4 SD.
Anak perempuanku yang lain, sempat mengenyam sekolah menengah, tetapi juga terburu ingin menikah. Maka menikahlah dia dengan seorang pemuda nelayan yang juga seorang pemabok. Dulu mereka tinggal bersamaku, seringkali pertengkaran yang disebabkan oleh ekonomi mencoba diringankan dengan minum-minuman keras, dan seringkali pada saat mabuk dia melakukan kekerasan pada istrinya.
Dengan cepat anak perempuanku yang kedua ini, memiliki anak. Anak yang pertama laki-laki, anak yang kedua juga laki-laki dan ketika hamil anak ketiga keluarga mereka pindah ke pulau Wanci dengan kehamilan yang berat, sesungguhnya aku sudah melarang anakku untuk di bawa ke pulau Wanci, karena pulau itu sangat jauh, sebagai seorang ibu, aku juga ingin membantu menemani anak perempuanku dalam proses pertaruhan nyawa dalam persalinan juga. Dan benar firasatku, anakku mengalami perdarahan habit setelah melahirkan, di Pulau itu hanya ada puskesmas kecil yang tidak memiliki cukup perlengkapan untuk membantu persalinan  yang riskan seperti yang terjadi pada anak perempuanku, dia dirujukkan ke rumah sakit  Bau-Bau. Meskipun di anggap paling dekat, jarak perjalanan yang harus ditempuh juga kurang lebih 3 jam.
Karena kami miskin, kami tidak mampu menyewa kapal sendiri, sehingga kami juga harus menunggu kapal penumpang yang memiliki jadwalnya sendiri. Dalam penantian pemberangkatan kapal itulah anakku tidak bisa ditolong lagi, dia meninggal di pelabuhan penyebrangan.
Fitri, dia cucuku yang dilahirkan dengan taruhan nyawa ibunya, sekarang dia ikut denganku bersama dua saudara lelakinya. Lihatlah tubuhnya yang kecil mungil, tak sebanding dengan usianya yang sudah hampir enam tahun. Ya saya hanya nenek renta, saya hanya mampu menghidupi mereka dengan tubuh tua saya. Ketika mencari kayu di Hutan  Taman Nasional Bunaken  pelarangannya belum seketat sekarang, aku masih bisa mencari kayu bakar untuk kujual, sekarang aku hanya mengandalkan permintaan tetangga untuk mencuci pakaian dan membersihkan rumah mereka.
Pengasilan mengerjakan pekerjaan rumah tangga tentu upahnya tak seberapa, karena itu seringkali kami sekeluarga hanya memakan ubi untuk mengganjal perut kami. Memang pemerintah memberi saya jatah raskin, tetapi raskin tidak selalu ada, dan juga seringkali saya dalam situasi tanpa uang untuk bisa menebus seluruh jatah raskin yang diberikan pada saya. Sehingga raskin itu kadang hanya mampu saya beli seperempatnya, separuhnya bahkan sama sekali tidak bisa saya tebus.
Cucu laki-lakiku dari anak pertama, memang masih sekolah, anak laki-laki dari anak perempuanku yang kedua, dia tidak bersekolah lagi, dialah yang membantu saya dengan bekerja ikut kapal mencari ikan. anak laki-laki yang kedua masih sekolah dan si kecil perempuan mungkin tahun depan sudah akan mulai masuk sekolah dasar.
Saya hanya berharap hari demi hari ini bisa saya lalui dengan cucu-cucu saya dengan makanan yang berkecukupan. Itu saja. (Ida 2014)

Ibu Bupati berpose bersama artis

Supernova; huff....



SUPERNOVA Membaca karya Dee belasan tahun lalu, dengan judul yang sama, membuat aku dan sahabat karibku Ninid betah diskusi sampai pagi. "Novel fiksi ilmiah" begitu kami menjuluki buku pinjaman dari tumpukan lemari pacar itu kami baca bergantian. bukan hanya kami berdua, tetapi juga yang lainnya.

Novel indah itu menjadi pemicu diskusi yang panjang. Diskusi tentang Tuhan, pilihan bebas manusia dan bisa juga merambat pada diskusi sastra, Rumi, Iqbal dan banyak lagi. Pagi-pagi kami akan kelelahan bicara, dengan mata redup mengantuk, kami akan menunggu subuh datang untuk bersujud dan berlomba tidur. Tidur yang pendek. Karena buat kami Matahari adalah sahabat mata kami.

Dengan gelora yang sama, semalam saya bersama sahabat yang lain menyempatkan diri menonton supernova; ksatia, putri dan bintang jatuh. Upaya besar yang dilakukan oleh Rizal untuk memvisualisasikan cerita novel berat itu menurutku gagal. Novel Dee kaya akan tuturan filosofis yang butuh perenungan, butuh referensi untuk benar-benar difahami, tuturan pemain dalam dialog ataupun monolog mereka atau catatan yang dihadirkan cepat tidak cukup bisa memberi ruang untuk difahami.

Maka berbanding terbalik dengan membaca novelnya, Film ini memberikan kelelahan yang luar biasa. Film Supernova? Huff.....(Ida 06012014)