Rabu, 20 Mei 2015

Menjadi wartawan

Penulis adalah mimpinya, karena itu menjadi wartawan termasuk salah satu deretan teratas profesi yang diimpikan. Pengalaman menjadi wartawan yang melakukan observasi, riset dan wawancara tentu saja sudah berkali-kali dilakukan. Ketika menjadi reporter arena, bahkan ketika masa perploncoan pendidikan jurnalistik di arena waktu itu, dia sempat menjadi wartawan yang bertugas mencari berita di sepanjang Malioboro. Dengan mulut kelu dan gagu, terbata-bata bertanya kepada pelukis wajah yang menjajakan keahliannya di depan ramai mall. Dan anehnya tulisannya tidak berhasil memunculkan certita tentang pelukis wajah di malioboro, tapi justru tentang batinnya yang gagu mengikuti irama malioboro yang riuh.

Wawancara, observasi dan risetnya menjadi lebih sering digunakan dalam kerja-kerja penelitian yang dia lakukan. Untuk ini dia sangat berterimakasih pada mas Suaidi, mas Ons Untoro, Ciciek Farkha, Emanuel Subangun, Clarissa Adamson, Ljusi Margiyanj, Yasir Alimi, Alissa Wahid, dan banyak lagi guru, teman belajar, teman berkeluh dan tentu saja sahabat yang  tidak menyadari bahwa cambukannyalah yang selalu melecutnya untuk menulis. Nida'us Saadah. :-) :-) . Oxfam, Acces dan akhirnya Koalisi Perempuan Indonesia Setnas, memberikan ruang buatnya untuk lebih banyak mengeksplor kemampuannya menulis dengan lebih banyak bersentuhan dengan Indonesia, dalam perjalapnan-perjalanannya.

Ruang yang kini diperolehnya adalah kontribusi besar yang diberikan ketiga anaknya, Asa, Elang dan Anya, dan tentu saja kontribusi Suyanto untuk mengambil peran sebagai bapak rumah tangga. Dia menyadari keluarganya jauh dari sempurna, tak ada yang ideal disana. Asanya yang sendiri, jauh dari peluknya. Rasa bersalahnya yang tak pernah habis pada Elang, rasa sesaknya karena membiarkan Anya kehilangan sosok perempuan dan ibu  yang selalu memeluknya dan sedihnya memberikan gambaran tentang relasi setara bersama pasangannya. Semua itu adalah sebagian dari bobot kegelapan yang harus dia alami dalam dunia suka citanya, dalam kemewahan menekuni membaca buku-bukunya, meningkatkan kemampuan menulisnya, menikmati kegembiraan menyerap pengetahuan, berbagj pengetahuan dan menikmati kegembiraan menikmati kesendirian.

Selama ini perjalanan mewujudkan mimpinya seperti perjalanan air, yang mengarus pelan. Kebetulan-kebetulan dia nikmati dan manfaatkan. Seperti siang ini, bersama puluhan anak muda wartawan dia menunggu nara sumbernya di gedung bundar kejaksaan. Senyum kecil menyunggingbdi mulutnya antara ironi dan syukur. Ironi, ketika dia menyadari bahwa menunggu narasumber untuk dicatat dan diceritakan pernah menghiasi mimpi-mimpi mudanya dan bersyukur karena biarpun sejenak, dia pernah mendapat kesempatan untuk marasakan menjadi wartawan. (20 mei 2015)

Kamis, 07 Mei 2015

Lari dan lari

Senang melakukan kegiatan fisik. Siapa anak di desaku yang tidak begitu? Berenang di laut, berburu kacang mede pohon-pohon jambu mede di kuburan, bersepeda puluhan kilometer hanya untuk bisa ''ngopra'' (makan semangka yang diambil biji kwacinya sepuasnya) di sawah-sawah petani semangka demak, bermain yeye (permainan melompati jalinan karet gelang), gobak sodor, markas dan masih banyak lagi. Akupun begitu. Aku mampu melompat setinggi duakali tinggi tubuhku, bahkan naik pohon kelapa.

Tetapi seiring waktu kesukaan melakukan kegiatan fisik itu terhenti karena banyak hal. Ketika remaja, sekolah yang baru dan lingkungan yang berbeda dan tidak menyediakan lahan bermain seperti waktu kecil, rasa malu, dan masih banyak alasan lain yang menyebabkan kegiatan fisik itu terhenti.

Sampai waktu yang cukup lama kegiatan fisik itu berhenti. Timbunan lemak makin memberati tubuh. Lalu kesempatan itu mulai muncul ketika anak-anak sudah mulai besar.  Dan yang paling penting adalah mengalahkan diri sendiri. Mengalahkan kemalasan bangun pagi, mengalahkan kekhawatiran akan kejahatan yang mungkin terjadi di jalan, mengalahkan rasa menghawatirkan pikiran orang.

Olah raga yang saat ini paling murah dan mudah dilakukan adalah lari. Lari keliling kompleks. Track yang bisa dilalui cukup panjang, jadi sangat tergantung kepada kemauan dan kemampuan fisik mengikuti track lari itu. Aku cukup 1,5 KM saja, 10 menit tiap pagi. Bangun pukul 04.00, mempersiapkan diri untuk lari, sholat subuh dan langsung lari. Cukup 10 menit.

Ketika beberapa minggu dijalani, semua terasa ringan dan nyaman. Pada kesempatan pertama mengikuti marathon runmask, 3 km etape pertama bisa aku lalui dengan baik, sisanya jalan kaki. Tapi ketika mengikuti marathon lagi yang diselenggarakan dalam rangkan ulang tahun Uni Eropa 5,3 km berhasil kutempuh dalam waktu 40 menit, tanpa berhenti lari.

Yang terpenting adalah menjaga konsistensi. Kemauan untuk sehat harus juga didukung oleh kemauan keras untuk mengalahkan kemalasan. Kemalasan bangun pagi, kemalasan sendirian, kemalasan mengatasi rasa malu dan kemalasan yang selama ini dijadikan permakluman. 21 mei 2015