Jumat, 04 Maret 2016

Mengingat Pegunungan Karst Rembang ; Cerita kecil untuk anak-anakku

Karas, sebuah Desa disebelah barat Kecamatan Sedan, katanya disitu buyut kalian dilahirkan. Mbah Mahbub, namanya. 
Di Karas itulah keluarga besar Mbah Mahbub tin, ada pak de dan bude yang masih tinggal di sana. Jadi sejak kecil ayahku, kakek kalian, sering membawaku kesana. di belakang rumah pak De Harun, dulu adalah hutan dengan pohon-pohon besar, rimbun dan sejuk. Dari ruang belakang rumah Pak De Harun, aku masih melihat banyak kera-kera ekor panjang melompat dari satu pohon kepohon yang lain, dari satu ranting ke ranting lainnya. kadang-kadang aku berjumpa mereka dibebatuan kering yang menonjol diantara aliran sungai di sebelah timur rumah Pak De. Mereka sedang duduk berjemur, saling mencari kutu. Aku dan sepupu-sepupuku, anak-anak kecil yang keranjingan main air akan serta merta menjadi pengganggu yang menyebalkan bagi mereka, karena dengan segera mereka kabur dari tempat itu. Tak kusangka, tak berapa lama ketika aku SMP mereka tak lagi pernah kujumpai. Mereka hilang, bersamaan dengan masa dimana senapan angin dikenal di daerah itu. Beberapa kali, dengan sedih aku melihat kera-kera yang sudah mati menggelantung di sepeda pemburunya.
 
Hutan, binatang liar, air sungai yang jernih adalah satu hal yang aku ingat, selain tentu saja, menunggu kendaraan umum lewat yang sangat jarang, kelelahan karena harus "sedikit" berjalan dari karas dan Sedan. Aku sedih membayangkan kalian tak pernah melihatnya, bahkan untuk membayangkannya.
 
Karas berada dalam gugus pegunungan karst sepanjang blora, pati sampai rembang. Sejak lama penambang tradisional mengambil batu kapurnya, tetapi mereka hanya menjualnya dalam pikulan. Dua keranjang, seharian. itupun hanya disaat penting, menjelang hari raya atau 17 agustusan. Kenapa? Untuk melabur rumah-rumah, agar tampak cerah,  karena rumah-rumah masyarakat waktu itu  terbuat dari kayu yang bisa ditanam kembali. Tidak butuh batu untuk membuatnya, tidak butuh semen.
 
Kini anakku, kerakusan manusia perlahan tapi pasti menciptakan kebutuhan agar bisa menghancurkan. Lihatlah rumah-rumah di sepanjang jalan sedan Kragan Rembang dimana rumah Pak De  dan Bu Lek kalian tinggal. Mungkin hanya rumah mereka yang terbuat dari kayu. Lainnya mengubah wajahnya jadi batu. Untuk daerah pantai seperti disana betapa panasnya rumah batu? 
 
Anakku membangun rumah dari batu, membuat jalan dari batu, bukan tidak ada tumbalnya. Banyak anakku, bahkan kalau anak-anak tumbal "pembangunan" itu dikumpulkan, kalian bertiga mungkin akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk mencatat luka kemelaratan yang mereka alami.
 
Bukit-bukit Karst menyimpan banyak keajaiban anakku, dulu waktu mama remaja, pernah suatu saat main ke Sule. di daerah itu, dibawah pepohonan hutan, ada goa besar. Diperutnya yang gelap, aku pernah merasakan air dingin mengalir di kakiku. Waktu masuk kesana aku takut, karena sinar tidak masuk kedalam, dan kami tidak menyangka akan bertemu sungai bawah tanah dalam perjalanan kami. Sumber penerangan yang sangat terbatas hanya dimiliki beberapa remaja lain yang saat itu sudah merokok. Mereka menggunakan korek apinya untuk menerangi sungai itu. Bayangan kolam luas yang sempat tertangkap mata itu begitu menakjubkan. Meski takut disaat itu, tetapi kenangan itu sekarang begitu berharga, begitu indah.
 
Saat ini, Bukit Kendeng di daerah sekitar Sale Rembang, (semoga bukan di daearah yang pernah kudatangi) di bagian pegunungan karst lainnya yang masih berfungsi bagai spon pengisap dan penyimpan air hujan akan dihancurkan oleh perusahaan pembuat semen. Anakku, kalau ini benar terjadi aku yakin kalian tak akan pernah melihatnya lagi. Sebuah keajaiban akan menghilang. Keajaibannya untuk menghidupi para petani, kejaibannya untuk memberi pasokan air bersih bagi warga masyarakat akan menghilang. Seperti warga Sedan yang dimusim kemarau harus berburu air bersih, karena sumur-sumur mereka mengering, karena bukit-bukit yang mereka punya telah dibabat habis atas nama pembangunan.
 
Saat ini, masyarakat Kendeng sedang mempertahankan alamnya, tanahnya, bukitnya, hutannya dan sumber penghidupannya. Mari kita menjadi bagian dari mereka, semampu kita. 
 
Peluk cium,
Asa, Elang, Anya
 
Jakarta, 19042016