Rabu, 04 Mei 2016

Nyala untuk Yuyun nyala untuk anak Indonesia

Saya benci pemerkosa Yuyun, seperti yang lain juga saya marah dan menangis untuk Yuyun. Menangis sambil melihat foto anak perempuan saya, dan juga melihat dua anak laki-laki saya.

Saya adalah salah satu dari ribuan orang tua yang memiliki anak yang oleh karena keadaan ekonomi tidak bisa dengan mudah selalu mendampingi anak-anak saya. Terus terang, dalam keluarga saya, saya dan suami saya bekerja. Jangan dengan mudah menuding saya egois ya, karena ribuan keluarga seperti saya ini ada, walaupun sudah dua-duanya bekerja, kami tidak pernah sampai pada tahab berlebihan, bisa menabung. Hidup kami juga masih dalam kategori sederhana.

Lalu bagaimana anak-anak saya? Anak-anak saya mungkin termasuk yang beruntung karena tinggal di pelosok desa, dimana semua tetangga turut menjadi orang tua mereka. Ketika mereka bermain masih dengan seragam, tetangga akan mengingatkan untuk ganti seragam dulu dan memastikan anak saya makan siang. Ketika sore hari, anak tetangga saya masih main di tempat saya, maka saya akan mengingatkan untuk segera pulang dan kalau diperlukan mengantarnya pulang.

Tetapi bagaimana dengan anak-anak yatim piatu sosial? (Meminjam istilahnya mbak Lies Marcoes). Anak-anak yang tidak seberuntung anak-anak saya, yang tidak seberuntung kelas menengah yang masih bisa membayar guru les, mengawasi anaknya sendiri, memasukkan dalam sekolah-sekolah penyaluran bakat dan lainnya?

Bagaimana dengan anak-anak yang tidak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi? Anak-anak yang bahkan ruang bermain bolanya dirampas para pengusaha? Sungainya dipagari tinggi, masjidnya tidak boleh dihuni? Mereka anak-anak yang dibesarkan oleh teman-temannya sendiri, membangun kebanggan dengan banyak-banyakan gank? Atau anak-anak yang dibesarkan oleh game online?

Karrna itu, ketika semua orang mengutuk pemerkosa Yuyun, memintanya untuk dihukum mati, dikebiri dan balasan setimpal lainnya, sudahkah kita juga sudah mengutuk diri kita sendiri, yang selama ini telah turut serta membangun sistem sosial yang menjadikan anak-anak kita menjadi yatim piatu sosial? Sudahkah kita juga memikirkan, bagaimana agar tidak ada lagi anak-anak yatim sosial yang marah dan frustasi karena butuh perhatian?

Nyala untuk Yuyun, nyala untuk anak-anak Indonesia.

Hidayatut Thoyyibah