Kamis, 07 Juli 2016

Alumni M3R Meramaikan kebun Siwalan.

Emak-emak kekinian.

Kalau ditanya siapa emak-emak ini? Sebut saja emak-emak alumni M3R. Jauh-jauh hari kami janjian hari kedua lebaran akan ngumpul di Rembang. Titik kumpulnya belum ditentutkan. Hanya pas saya, nunung, Ida ketemu dalam acara tahlilan di rumah Ienas pada hari selasa 4 juli 2016, kami memtuskan tempat ngumpulnya di rumah Ienas Tsuroiya.

Mula-mula saya dan Aida Muchiqqoh jalan dulu ke rumahnya mbak Emy Zulfa,  karena kebetulan murid paling rajin di kelas kami dulu itu tidak ikut di grup WA, kami mau ajak dia untuk hadir dalam pertemuan bersejarah hari ini. Sayangnya, rumah mbak Emy kosong. Saya dan Ida akhirnya menjadi pendatang paling awal di rumah Ienas disusul Fathimatuz Zahro', disusul Nunung Rembang lalu Atik dan anak perempuannya.

Pada saat yang sama ada mas Aguk Irawan Mn dan istrinya yang ternyata alumni kelas belajar islam toleran dan alternatifnya LKiS, juga sedang bertamu di rumah Ienas, jadilah kami emak-emak dari dua rombongan yang berbeda itu ngobrol bersama, sambil menunggu satu persatu kloter emak-emak kekinian datang.

Rombongan terakhir mbak Asiamah datang pas kami sedang menjalankan ritus rutin wefie di deoan aula. Setelah selesai berfoto rupanya ada kawan kesayangan kami lek siti marhamah ternyata masih ada di Sawahan, maka kami bersatu padu meyakinkan Lek Siti agar sudi bergabung. Dengan setengah memaksa saya menjemput lek siti di mulut gang Kulit Sawahan. Sayangnya dalam perjalanan pendek dari gang mulut gang kulit ke leteh rok lek siti masuk ke dalam rantai motor. Untungnya kami berdua tidak apa-apa hanya rok lek siti ujungnya robek disana sini.

Selepas solat dzuhur kami berburu legen di desa Mondoteko. Kami menyepakati untuk bergabung dalam mobil Fathimatuz zahro' dan tentunya sekaligus disopiri oleh Fathimah.

Sampai di Desa Mondoteko mencari legen atau nira bukan perkara mudah. Pada lokasi yang sama, kami bersaing dengan pembeli yang lain. Nira yang mau kami beli belum tersedia, penderesnya baru akan mengunduh niranya.

Ada dua penderes nira yang keduanya sudah berusia tua dalam ladang dengan puluhan pohon siwalan yang kami datangi. Anak-anak mereka sudah tidak memiliki keahlian yang sama dengan orang tuanya. "Anak-anak muda lebih senang cari kerja ke utara daripada melanjutkan pekerjaan orangtuanya sebagai penders nira" kata anak penderes nira yang juga menunggu di ladang yang kami datangi.

Menunggu penderes mengambil nira dari potongan bumbung-bumbung bambu di atas pohon siwalan, menjadi pengalaman menarik buat kami. Pohon siwalan yang batangnya jauh lebih besar dibanding pohon kelapa dipanjat dengan menggunakan tali sebagai pegangan bagi penderes karena lengannya tidak cukup untuk memeluk batang pohon. Sang istri menunggu di bawah dengan alat saringan dan beberapa bumbung bambu, swmentara ami menunggu dengan beberapa botol air kemasan untuk diisi dengan nira yang baru di turunkan.

Saya berharap para penderesnya tidak mimpi buruk malam ini karena kedatangan tamu heboh macam kami.
Setelah mendapatkan enam  sowan guru matematika kami pak qusairi.
Perjalanan kami akhiri dengan kembali lagi ke rumah Ienas.

Semoga tahun depan kita bisa bertemu lagi.