Sabtu, 21 Maret 2015

Perjalanan "medan"

Tahun 2001, sebelum tsunami dalam perjalanan ke aceh sempat transit di Polonia medan. Bandara pesawat sebelum berpindah di Kualanamu. Polonia yang lebih dekat dengan kota Medan, tetapi bandara kuala namu jaraknya dengan kota Medan kurang lebih satu jam perjalan taxi, atau sekitar 45-50 km. Bandara Kualanamu dibangun diatas areal perkebunan sawit yang dulunya milik PTPN.

Tidak banyak kenangan yang bisa kuuraikan, dalam transit 30 menit itu, selain keramahan pramugari yang duduk disebelahku dan menanyakan kehamilan pertamaku, karena aku memilih tetap tinggal dipesawat. Tapi aku ingat dalam rangka apa perjalanan itu. Perjalanan pertamaku keluar pulau jawa, di aceh adalah perjalanan setelah pembahasan qanun syari'ah islam. YKF mau mengerti bagaimana proses pembuatan qanun itu disusun, dan apakah perempuan terlibat dalam penyusunan qanun itu. Ada dua perempuan yang terlibat dalam penyusunan qanun, dan salah satunya berhasil kutemui. Namanya aku tidak ingat, mungkin catatanku yang lain bisa menceritakan hal ini.

Hari ini, aku akan kembali ke sana ke Medan. Tidak untuk mengenal kotanya, tetapi untuk belajar tentang ilmu most signigicant change, setalah empat bulan lalu mereka memberikan beberapa PR yang harus kami kerjakan. Meskipun tujuannya untuk belajar, tapi aku tak keberatan untuk sedikit mengenal Medan, kota yang dalam salah satu anekdotnya kalian bisa kehilangan jam tangan kalau tangan kalian, kalian keluarkan dari bus. :-) :-)

Naik pesawat Garuda, agak malu dengan harganya. Mahal? Iya. Puluhan tahun yang lalu, untuk mengikuti seminar dijakarta, aku harus mengeluarkan kocek sendiri untuk transportasi kereta api ekonomi yang super murah, tapi lihat sekarang? Untuk pintar, kita diberi semua kemudahan. Semoga semangat belajarku tidak berbeda dengan masa ketika pengetahuan kukejar dengan biaya sendiri. Amin.

MSC membaca perubahan individu dan masyarakat dengan partsipatif. Digali  dari komunitas, didiskusikan bersama komunitas dan hasilnya  sosialisasikan untuk komunitas agar bisa menginspirasi untuk melakukan perubahan. Prosesnya panjang. Juga proses untuk membuka pandangan diri sendiri dan melakukan perubahan juga.

Setelah mengirimkan 6 tulisan perubahan, yang dikirim oleh peserta dari KPI wilayah Sumatera Barat, yang dapat dipastikan tidak melalui proses FGD, kami pasti harus mempertanggungjawabkan tulisan kami besok pagi.

Tapi biarlah itu menjadi catatan lain nanti, dalam tulisan ini aku ingin mencatat perjalanan ke Medan. Boarding pesawat pukul 13.15. Tapi aku sudah menunggu di chek in area sejak jam 11.00. Tak apa, disini bisa internetan gratis dan kencang. Mengikuti kicauan kurawa tentang calon-calon kepala daerah yang dibutuhkan Indonesia dan mengikuti percakapan master chef yg selalu fresh menjadikan kesendirianku di ruang ini tak menjadi sepi. Apalagi Hema dengan paket TMnya mau bercakap denganku hampir 35 menit.

Pesawat akhirnya berangkat, setelah berpindah dari terminal f6 ke terminal f2. Aku tiba di bandara Kualanamu pukul 16.15. Setelah tawar menawar, akhirnya sebuah taxi gelap mengantarku ke Hotel Santika. Sopir taxi yang ramah banyak menceritakan sejarah bandara Kualanamu dan tentu sejarahnya sendiri sebagai sopir taxi gelap disana. 

Beruntung, sampai di hotel, teman native medan yang diundang teman kantorku sudah datang dan siap membawa kami menjelajah kota Medan. Kami memutuskan untuk berjalan kami. perjalanan hampir 3 km itu, kami nikmati dengan memotret gedung-gedung tua. Rumah bergaya cina di jalan perdana, bersisihan dengan gedung megah bangunan sisa penjajahan belanda yang tercatat di salah satu pilarnya didirikan pada tahun 1919.. Berikutnya disepanjang jalan pemuda kami bertemu banguan-bangunan tua yang masih terlihat megah, untuk ukuran zamannya bersisihan dengan gedung-gedung bangunan baru, seperti hotel, bank atau lainnya. Tak lupa gedung juang dan coffe kopi simpanan mertu yang menyedot perhatian kami karena keunikan namanya. 

Di rumah makan tip top kami memutuskan untuk makan malam. Bangunan tua dengan interior khas tradisi deli,dibuat menjadi rumah makan. Pelayannya menggunakan pakaian khas deli dengan memakai songkok, melayani kami. Tempat ini memang tidak jauh dari istana maemun yang terletak di jalan katamso. Dalam keremangan petang yang syahdu, akhirnya kami sampai di istana Maemun yang terkenal itu. Duduk didepan bangunan indah itu, aku membayangkan, kaum istina yang lalu lalang disana.
Medan dalam semalam, 22 Maret 2015 (ida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar